FIKIH SMP/IX Semester 2 BAB 1

Bab 3
Ta’awun Dalam Islam

Pinjam-meminjam, Utang Piutang dan Gadai




A. Kompetensi Inti

1.       Menghargai dan menghayati ajaran agama yang dianutnya

2.       Menghargai dan menghayati perilaku jujur, disiplin, tanggungjawab, peduli (toleransi, gotong royong), santun, percaya diri dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam dalam jangkauan pergaulan dan keberadaannya.
3.       Memahami dan menerapkan pengetahuan (faktual, konseptual dan prosedural) berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni budaya terkait fenomena dan kejadian tampak mata.
4.       Mengolah menyaji dan menalar dalam ranah konkret (menggunakan, mengurai, merangkai, memodifikasi dan membuat dan ranah abstrak (menulis, membaca, menghitung, menggambar dan mengarang) sesuai dengan yang dipelajari di sekolah dan sumber lain yang sama dalam sudut pandang/teori.
   B.Kompetensi Dasar



1.1  Menghayati hikmah ketentuan pinjam meminjam

1.2  Menghayati hikmah ketentuan utang piutang

1.3  Menghayati hikmah ketentuan gadai

1.4  Menyadari pentingnya pemberian upah

2.1 Membiasakan sikap peduli sebagai implementasi dan dari pemahaman tentang ketentuan pin-jam-meminjam

2.2 Membiasakan sikap tanggung jawab sebagai implementasi dari pemahaman tentang ketentuan utang-piutang

2.3 Membiasakan sikap selektif dan hati-hati sebagai implementasi dari pemahaman tentang keten-tuan gadai

2.4  Membiasakan sikap amanah sebagai implementasi dari pemahaman tentang ketentuan upah

3.1 Memahami ketentuan pinjam meminjam

3.2  Memahamiketentuan utang piutang

3.3  Menganalisis ketentuan gadai

3.4 Menjelaskan ketentuan upah

4.1 Mendemonstrasikan pelaksanaan pinjam-meminjam

4.2 Mendemonstrasikan tata cara pelaksanaan utang-piutang

4.3  Mensimulasikan tata cara gadai

4.4  Mensimulasikan tata cara pelaksanaan pemberian upahBab 3


A. Pinjam Meminjam

Pinjam meminjam mengandung pengertianٌَmemanfaatkanَ barang atau uang untuk sementara waktu.
Dalam istilah Islam dinamakan ‘Āriyah )ةی رِاع( yang bermakna pinjaman tak berbunga.

Pinjam-meminjam dalam kehidupan bermasyarakat adalah hal yang biasa dilakukan. Hal itu terjadi karena manusia saling membutuhkan untuk memenuhi hajat kehidupannya. Oleh karenanya Agama Islam memberikan aturan-aturan dalam pelaksanaan pinjam-meminjam, baik dasar hukumnya, syarat rukunnya, maupun hak dan kewajiban bagi orang yang terlibat dalam pinjam meminjam.

1. Hukum Pinjam Meminjam
Dalam Q.S. Al-Maidah ayat 2 di atas menjelaskan tentang perintah tolong menolong dalam urusan kebaikan. Salah satu bentuk tolong menolong dalam kehidupan bermasyarakat adalah 
pinjam-meminjam. Jadi pada dasarnya hukum asal pinjam meminjam adalah Mubah (boleh).
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi’ar-syi’ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keridhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah


kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (Al-Maidah: 2).
 Hukum pinjam meminjam bisa berubah sesuai dengan alasan yang melatar belakanginya, yakni :

a.  Mubah, maknanya boleh, sesuai hukum asal dari pinjam-meminja

b.  Sunnah, maknanya ada nilai kebaikan apabila praktik pinjam meminjam dilakukan. Misalnya:

meminjami mobil untuk mengantar tetangga yang sedang sakit ke Rumah Sakit.

:           c. Wajib, maknanya ada keharusan dalam pelaksanaan pinjam meminjam, Sebagai contoh Dalam kondisi keuangan yang cukup bahkan berlebih, kita memberi pinjaman uang kepada tetangga yang sangat membutuhkan untuk pengobatan. Pada saat itu kondisi tetangga yang

sakit harus di lakukan operasi untuk menolong jiwanya.

d. Haram, maknanya dihukumi dosa bila terjadi akad pinjam meminjam. Misalnya : memberikan pinjaman kepada orang untuk berjudi, minum minuman keras, dan perbuatan-perbuatan
lainnya yang dilarang agama.




 2. Rukun Jual beli
Maksud rukun di sini adalah hal-hal yang harus ada dalam pelaksanaan pinjam meminjam. Apabila tidak terpenuhi salah satu atau beberapa rukunnya maka di anggap tidak sah. Rukun 
pinjam meminjam ada 5 Lima, yaitu :

a.  Mu’’īr ) ریعِم ( atau orang yang meminjami
ٌْ َُْ
b.  Musta’’īr )ریعِتسم( atau orang yang meminjam
ٌَ َُْ
c.  Musta’ār )راعتسم( atau barang yang di pinjam

d.  Batas waktu

e.  Ijab Qabul atau ucapan / keterangan dari kedua belah pihak.

3. Syarat Pinjam Meminjam

Maksud dari Syarat adalah hal-hal yang harus ada sebelum kegiatan pinjam meminjam dilaksanakan. Adapun Syarat-syarat pinjam meminjam adalah :
a. Syarat bagi orang yang meminjami (معیرٌُْ)
ِ

1). Berhak berbuat kebaikan tanpa ada yang menghalangi

2). Barang yang dipinjamkan milik sendiri ataupun barang tersebut menjadi tanggung
jawabnya
ُ ْ َ ٌْ
b. Syarat Bagi Orang yang meminjam ( مستعیر )
ِ

1). Mampu berbuat kebaikan atau mengambil manfaat barang yang dipinjam

2). Mampu menjaga barang yang dipinjam dengan baik.
ُ ْ َ ٌَ
c.  Syarat Barang yang dipinjam ( مستعار)

1). Ada manfaatnya

2). Bersifat tetap, tidak berkurang atau habis ketika diambil manfaatnya


4. Beberapa Catatan penting dalam pinjam meminjam.

Untuk menjaga hubungan baik antara peminjam dan yang meminjami, perlu diperhatikan hal-hal berikut ini :
a.   Barang yang dipinjam selayaknya untuk di manfaatkan sebaik-baiknya dan tidak melanggar aturan agama

b.  Peminjam hendaknya tidak melampaui batas dari sesuatu yang di persyaratkan orang yang meminjamkan

c.  Peminjam merawat barang pinjamannya dengan baik, sehingga tidak rusak. Sebagaimana hadist Nabi

Dari Samurah, Nabi Muhammad Saw. bersabda : tanggung jawab barang yang diambil atas yang mengambil sampai dikembalikannya barang itu. ” (H.R. al-Khomsah kecuali An Nasai)
d.      Peminjam harus mengembalikan pinjamannya sesuai waktu yang telah di sepakati

e.      Apabila peminjam dalam waktu yang sudah disepakati belum dapat mengembalikan, maka harus memberitahukan dan meminta ijin kepada yang meminjamkan.

f.       Hendaknya Orang yang meminjami memberi kelonggaran waktu kepada peminjam, apabila peminjam melebihi batas waktu yang telah ditentukan.

B.    Utang Piutang

Utang piutang adalah salah satu bentuk kerjasama atau tolong menolong dalam kehidupan manusia.

Dalam pembahasan sebelumnya, Ananda telah mempelajari tentang pinjam meminjam.

Antara pinjam meminjam dengan utang piutang objeknya sama yaitu dapat berupa barang atau uang, perbedaanya adalah, kalau kegiatan pinjam meminjam harus mengembalikan barang pinjaman pada batas waktu yang telah ditentukan. Sedangkan dalam kegiatan utang piutang jika utang tersebut dalam bentuk pembelian barang, maka dapat menjadi milik pribadi (penghutang) secara penuh, apabila hutang telah lunas, misalnya hutang mobil, rumah atau barang lainya.

Dalam pembahasan utang piutang, Ananda akan mendapatkan penjelasan hukum utang piutang, ketentuan utang piutang, dan Praktik utang piutang dalam Lembaga Keuangan Syariah (Bank Umum Syariah atau BPR syariah, Koperasi Syariah dan BMT)

1.      Hukum utang piutang

Hukum utang piutang pada asalnya adalah mubah atau boleh, namun bisa berubah menjadi sunah, wajib, atau haram tergantung dari latar belakang alasan yang mendasarinya. Lebih lanjut penjelasanya sebagai berikut :

a.      Mubah atau boleh, sebagaimana hukum asal dari utang piutang

b.      Sunah, apabila orang yang berhutang dalam keadaan terpaksa. Misalnya, utang makanan pokok demi untuk memberi makan keluarganya

c.      Wajib, apabila pemberi hutang mendapati orang yang sangat membutuhkan bantuan, misalnya member hutangan kepada orang yang membutuhkan untuk operasi demi kesembuhan dari suatu penyakit, sementara yang berhutang tidak ada yang menolong
d.      Haram, apabila orang yang memberi hutang mengetahui penggunaan utang untuk hal-hal yang dilarang agama, misalnya utang untuk membeli minum minuman keras, judi atau lainya.

Dasar hukum yang digunakan dalam al-Qur’an surat al-Maidah ayat 2 dan hadits Nabi Muhammad Saw., di bawah ini :

2. Ketentuan Utang Piutang
 
Dalam kehidupan bermasyarakat, sering terjadi pertikaian antar warga. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya pemahaman mereka tentang ketentuan utang piutang menurut Islam. Untuk menghindari perselisihan yang tidak diinginkan, maka kedua belah pihak perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

a.  Hutang piutang lebih baik ditulis dan dipersaksikan.

:   Dalilnya firman Allah Swt., Q.S.. Al-Baqarah : 282 yang artinya

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Rabbnya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun dari hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya.Janganlah saksi saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah muamalahmu itu), kecuali jika muaamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Mahamengetahui segala sesuatu 
b.  Pemberi hutang tidak boleh mengambil keuntungan atau manfaat dari orang yang berhutang.

 c. Berhutang dengan niat baik dan akan melunasinya

d.      Tidak berhutang kecuali dalam keadaan darurat atau mendesak.

.
e.      Jika terjadi keterlambatan karena kesulitan keuangan, hendaklah orang yang berhutang memberitahukan kepada orang yang memberikan pinjaman. Hal ini termasuk bagian dari menunaikan hak pemberi hutang.
f.       Bersegera melunasi hutang





Komentar

Postingan populer dari blog ini

FIKIH SMP/IX Semester 1 BAB 1

FIKIH SMP/IX Semester 2 BAB 2